Senin, 11 Februari 2019

KORUPSI DAN KEKERASAN JEBAKAN YANG MENGUAT


Oleh: Ridwan HM Said

MENDEKATI akhir tahun 2011 lalu dan awal dari tahun 2012 ini Indonesia diwarnai oleh dua masalah besar yang sistemik, yaitu, Korupsi (dari kasus Gayus ke Najaruddin) dan Kekerasan (dari terorisme ke konflik Sumber Daya Alam). Selain kedua masalah besar diatas tidak berarti tidak ada masalah lain, Reshaffel Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II beberapa waktu lalu misalnya, tidak lebih dari isu lanjutan masalah korupsi yang melilit beberapa elit parpol penguasa dan juga oposisi.
Nampaknya dua masalah besar itu semakin hari semakin menunjukkan skenario sistematik dan konspirasi besar yang melibatkan kekuatan asing dan penguasa negeri, untuk menyelesaikan masalah besar itu kelihatannya sangat menguras energi kepala negara beserta jajarannya, tapi semakin hari semakin sulit diprediksi kapan berbagai masalah itu akan benar-benar berakhir, sebaliknya justru makin menunjukan tanda-tanda penguatan.
Masalah korupsi misalnya, untuk memperkuat regulasi pencegahan juga menjerat  para koruptor puluhan peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan, beberapa lembaga Ad Hoc (KPK/Satgas)  telah di bentuk disamping lembaga konvensional (Polri/Jaksa) koruptor  semakin banyak yang berkeliaran, parahnya mereka yang terlibat berada di dipusaran kekuasan ditengah “pagaran” UU dan lembaga anti korupsi yang amat banyak, laju perkembangan pelaku korupsi terus bertambah, kerugian negara semakin membengkak, akibatnya dimata Dunia Internasional Indonesia dikenal sebagai lumbung koruptor.
Masalah kekerasan dalam konteks “terorisme yang semakin nekat, melegitimasi Densus 88 untuk bertindak represif, juga memaksimalkan BNPTsebagai upaya defentif dengan deradikalisasi, dana cukup besar digelontorkan demi mendukung pemberantasan terorisme, dana Densus 88 diduga berasal dari kucuran asing. Sudah banyak yang ditembak mati ditempat, ditahan tanpa prosedur, dan dipenjara namun tidak seorangpun yang mampu memprediksi terorisme akan berakhir kapan.
Kemudian masalah kekerasan di bidang SDA, mulai dari Papua yang tidak pernah berhenti berkicau sejak menyatu dengan NKRI. Pemerintah sudah berusaha mengambil kebijakan guna meredam kekerasan yang terus meningkat. Otonomi Khusus adalah opsi terakhir yang diberikan pusat kepada Papua sejak tahun 2001, kenyatannya sampai sekarang Papua belum juga beranjak dari kekerasan yang setiap saat siap meledak kembali.
Riwayat Jebakan
Dua masalah utama diatas, yang jelas tidak muncul secara spontanitas, tapi merupakan sengaja di setiting dengan latar belakangnya masing-masing atau setidaknya sengaja dibiarkan untuk kepentingan tertentu, pada titik inilah kemudian yang memunculkan pertanyaan, siapa aktor dibalik itu semua, dan apa tujuannya ? secara historis, tanpa ragu kita harus menyatakan, aktornya adalah dunia barat dan Amerika Serikat yang bersekongkol dengan “pemimpin” kita.
Persoalan benih korupsi dan kekerasan (SDA) adalah dua entitas yang muncul berbarengan sebagai satu paket groyek golobalisasi yang di rancang oleh AS. Fakta sejarah menunjukkan sejak berakhirnya perang dingin antara blok barat yang diwakili Amerika Serikat dan blok timur yang diwakil oleh Uni Soviet (kini Rusia), dikenal dengan perang idiologi kapitalis dan sosialis. Amerika Serikat keluar sebagai pemenang dan sejak saat itu tidak ada satupun negara yang dapat menghentikan hegemoni AS di segala penjuru Dunia yang dikehendakinya. Baik penguasaan melalui cara paksa (force) maupun dengan cara lunak (solf). cara lunak dilakukan dengan meluncurkan proyek globalisasi, dengan dalih membantu negara-negara dunia ketiga keluar dari keterbelakangan, melakukan modernisasi disegala bidang, melalui dana pinjaman lewat lembaga vinancial yang didirikan Amerika Serikat (IMF, Word Bank), dengan  catatan seluruh program-rogram strategic harus mengikuti rekomendasi lembaga itu, artinya dengan mudah kekuatan lembaga vinancial global tersebut mengintervensi penguasa pada negara yang bersangkutan, termasuk menggulingkan rezim yang berkuasa. Gerakan modernisasi sebagai resep lembaga yang dibentuk Amerika tersebut buktinya sulit ditemukan negara-negara dunia ketiga yang mampu bangkit dari kekacauan politik, korupsi, dan penguasaan SDA vital oleh negara tersebut, justru keadaan sebaliknya ketika mencermati negara berkembang yang tidak mau mengikuti resep Amerika Serikat seperti Malaysia yang kini sangat jauh lebih maju.
Dalam konteks Indonesia, keterlibatan Barat dan Amerika Serikat, terutama pada isu politik sangat jelas, sejak merdeka Indonesia secara tidak langsung sudah bergantung pada AS, dimana “kemerdekaan di raihkarena luluh lantarnya Jepang akibat di bombardir AS, lalu para pendiri Indonesia segera mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 agustus 1945. Seokarno kemudian tampil sebagai Presiden, sikap politiknya yang memilih tidak berafiliasi dengan AS (kapitalisme), dan lebih memilih membangun afiliasi politik dengan idiologi sosialisme (PKI) dengan konsep Nasakom membuat AS berang, dan memikirkan berbagai cara untuk menggulingkan Soekarno. lewat momen pemberontakan PKI yang membunuh beberapa Jenderal, diawali dengan berhembusnya isu terbentuk Dewan Jenderal TNI guna mengambil alih kepemimpinan, kemudian memancing PKI melakukan kudeta, ternyata belakangan diketahui yang menghembuskan isu itu adalah badan intelijen AS (CIA). AS sangat terkejut dengan kerja Soeharto dapat dengan mudah memberatas kekuatan idiologi sosialisme penyaing terbesar AS di Asia Tenggara, Soeharto pun naik menjadi Presiden dengan membunuh hampir satu juta nyawa yang diklaim sepihak sebagai pendukung PKI tanpa proses hukum.
Setelah Soeharto naik ke tampuk pemimpin menggantikan Soekarno, UU yang pertama kali ia  keluarkan adalah UU No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA) hasil dari pertemuan di Genewa-Swiss, antara utusan Indonesia dengan para pengusaha kapitalis AS dan negara-negara barat lainnya, disinilah awal mula idiologi kapitalisme bercokol menancap kuat dibumi pertiwi, SDA potensial dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing, seperti, Freeport, Generl Motors,  US Steel Tobacco, Alcoa, Goodyear, Siemens, Presiden AS Nixon waktu itu menyebut Indonesia adalah “upeti dari Asia.”
Pada saat yang sama Indonesia terjabak dalam konspirasi jahat kekuatan Amerika Serikat melalui IMF dan World Bank, yang memberikan dana pinjaman untuk melakukan modernisasi (globalisasi), dan Indonesia adalah negara yang pertama kali dijadikan pilot project program globalisasi. Satu pertiga Milyaran Dolar AS uang pinjaman ini kemudian menjadi sumber utama korupsinya Soeharto dan para kroinisnya, itu artinya benih korupsi besar-besaran di mulai sejak uang pinjaman yang mengalir dari lembaga bentukan AS itu.
Menguatnya Jebakan
Sepanjang tahun 2011 lalu jebakan melalui setingan isu-isu yang sengaja dipelihara oleh AS dan dunia barat sangat terasa menguat, isu terorisme misalnya “kelompok” Islam yang di anggap terlibat dalam gerakan itu semakin masuk pada ranah yang sesunguhnya diinginkan oleh dunia Barat dan Amerika Serikat, sekarang Densus 88 dengan seenaknya saja menangkap, menahan bahkan membunuh tanpa proses hukum, konyolnya ada yang diduga teroris yang tidak diketahui identitasnya (mister X), tidak ada lagi prosedur hukum, mulai dari status saksi, tersangka, terdakwa dan terpidana. Parahnya sebagian umat Islam yang dicap sebagai teroris terpancing secara membabi buta tanpa target yang jelas yang akhirnya menjastifikasi aparat melakukan tindakan represif atas nama keamana Negara, dan kondisi ini akan mengulangi tragedi satu juta rakyat Indonesia yang dibantai Soeharto atas PKI dulu tanpa proses hukum, sekali lagi itu adalah pesanannya AS untuk memberangus idiologi sosialis sebagai lawan idiologi kapitalis, umat Islam jangan mau terjebak dengan perang idiologi barat.
Jebakan yang semakin menguat juga dapat dilihat pada kasus Papua, kita tahu setiap terjadi kekerasan di Papua selalu diawali dengan persoalan di PT. Freeport, perusahaan emas itu adalah miliknya AS, kekerasan di Papua akan menjadi pintu masuk AS untuk melakukan intervensi  dengan mendukung merdekanya Papua dari NKRI atas dalil aparat Indonesia melakukan pelanggaran HAM, seperti yang terjadi di Timor Leste dulu.
Perosalaan terorisme, kekerasan di Papau, benih korupsi merupakan kasus-kasus besar yang muncul dan menguat akibat jebakan dunia barat dan AS khususnya yang berkonspirasi dengan penguasa negeri ini, AS menginginkan kekayayan SDA kita tanpa batas dan melemahkan idiologi Sosialis dan Islam sebagai saingan kapitalisme, sementara kepentingan elit lokal adalah kekuasaan”. Bangsa ini penuh dengan skenario dan jebakan, untuk keluar dari segala persolaan itu dibutuhkan pemimpin yang berani dan bernurani tapi bukan penyanyi Seperti SBY.[]

MENGUATNYA PEMBUSUKAN KPK: LUAR & DALAM


Oleh: Ridwan
Sungguh berat langkah untuk melawan korupsi di negeri ini: pertama, Fenomena langka yang jarang ditemukan Sejak berdiri tahun 2003 silam, dalam putusannya Pengadilan Tipikor sebagai Ending dari kerja lembaga Super Body (KPK) akhirnya muncul juga. Gagasan untuk memperluas jangkauan daya dobrak KPK dengan mendirikan PN Tipikor di tiap Provinsi, kontras dengan cita-cita dengan munculnya vonis bebas beberapa koruptor oleh Pengadilan Tipikot di beberapa Wilayah, (Bandung) vonis bebas Wakil Walikota Bogor, Bupati Subang,  Walikota Bekasi, (PN Tipikor Semarang) Direktur Utama PT Karuni Sejati, (PN Tipikor Jakarta) vonis bebas mantan sekretaris Gubernur Bank Indonesia, (PN Tipikor Surabaya) vonis bebas sembilan perkara korupsi. Kedua, semakin gencarnya upaya pelemahan KPK oleh DPR, Pemerintah, dan pihak-pihak lain.
Bila selama ini hanya Pengadilan Umum yang di identifikasi sebagai surganya para koruptor, dengan venomena pembebasan koruptor yang cenderung meningkat tiap tahun, serta ringannya  vonis yang dijatuhkan. Dengan Rata-rata vonis yang dilakukan selama tahun 2005-2009 adalah 5,82 bulan penjara atau setengah tahun (Ridwan: Suara Mandiri, 20-12-2010). Kalau menigikuti penggolongan (Salaman Luthan: 2007) vonis itu tergolong sangat ringan, penggolongan sanksi pidana yaitu, sangat berat bila lebih dari 12 tahun, berat bila pidana yang dijatuhkan antara 9-12 tahun, sedang bila vonis 6 sampai 9 tahun, ringan bila antara 3 sampai 6 tahun, dan sangat ringan bila kurang dari 3 tahun.
Kondisi ini berbalik dengan vonis yang dilakukan oleh pengadilan tipikor yang tidak pernah memfonis bebas terdakwa sejak 2004-2010, bahkan pengadilan tipikor tidak pernah memvonis hukuman percobaaan maupun vonis dibawah 1 tahun, pengadilan tipikor memvonis rata-rata  50,90 bulan penajara atau 4,24 tahun penjara.
Namun cerita keramat Pengadilan Tipikor yang tidak pernah memvonis ringan serta tidak pernah membebaskan koruptor terhenti setelah pengadilan khusus itu di buka dibeberapa ibu kota propinsi, kredibililatas itu harus terbayar mahal menyusul vonis bebas para koruptor diberbagai daerah oleh pengadilan khusus Tipikor Daerah.
Pertanya mendasar atas kejadian langka itu adalah, apa penyebabnya ? pengadilan tindak pidana korupsi diwilayah sangat mudah tanpa beban, bahkan sangat enteng keluar dari tradisi pengadilan tipikor selama ini yang tidak pernah memvonis bebas para koruptor, dan bagaimana pula kisah nekatnya lembaga DPR menggembosi Pemeberantsan korupsi.
Konstruksi putusan
Ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh hakim dalam proses mengkostruksi putusan. Permasalahan itu terkait antara lain, lemahnya hakim mengkstruksi dasar-dasar pertimbangan.  Lemahanya hakim dalam menginterpretasikan fakta-fakta hukum, lemahnya kepekaan hakim atas dasar teori dan atau falsafah yang digunakan, serta terkait rendahnya kualitas moralitas hakim (KY: 2007)
Selain Itu yang memepengaruhi kualitas putusan hakim adalah berdasaran ilmu psikologi, memang wajar fenomen putusan hakim yang tidak berkualitas, karena didukung oleh cara hakim mengkostruksi putusan dengan langkah-langkah dalam proses persidangan, pertama-tama hakim mendengarkan dakwan yang dibacakan JPU, lalu hakim baru menyusun cerita (putusan) berdasarkan informasi itu.
Adanya kecenderungan hubungan antara pemaknaan hakim tentang korupsi dengan putusan yang yang dijatuhkan, jika hakim menggunakan pemaknaan sempit tentang unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakawa maka ada kecenderungan hakim menajutuhkan putuan tidak bersalah atau vonis bebas, jika vonisnya bersalah maka sanksinya sangat ringan. Sebaliknya bila hakim mengikuti pemaknaan luas tentang unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa, maka terdapat kecenderungan hakim menjatuhkan putusan bersalah, dan saksi pidananya bervariasi, mulai dari sangat ringan, ringan, sedang, berat, sangat berat, namun kecenderungannya hakim menajutuhkan pidana dengan kategori ringan.  penafsir luas adalah penafsir yang memaknai korupsi secara materil dengan memasukkan unsur kepatutan dan perbuatan tercela, yang bersumber dari ketentuan hukum tidak tertulis, disi lain penafsiran sempit adalah, penafsiran yang memaknai kosupsi hanya berdasarkan aturan perundang-undangan tertulis dan mengabaikan ketentuan hukum yang tidak tertulis.
Hasil Penelitian Komisia Yudisial (KY: 2009), dari 195 sampel putusan hakim yang di teliti, ditemukan dalam putusannya telah mengedepankan keadilan prosedural, hal ini terjadi karena disebakan oleh banyak faktor; salah satunya adalah rendahnya pemahamana pembuat putusan terhadap doktrrin-doktrin standar pada satu pihak dan kurang berperannya yurisprudensi sebagai sumber hukum dipihak lain. Kurang  berkualitanya putusan-putusan hakim itu muncul disebabkan oleh: (a) tidak dipetimbangkannya yurisprudensi sebagai sumber hukum selain UU (4,56 porsen) , (b) tidak dipertimbangkannya doktrin-doktrin standar sebagai sumber hukum (3,26 porsen), (c) tidak dipertimbagkannya doktrin standar dalam menentukan tindak pidana dan kesalahan terdakawa (5,32 porsen), (d) tidak dipertimbangkannya yurisprudensi sebagai sumber hukum dalam menentukan tindak pidana dan kesalahan terdakwa (9,28 porsen); (e) tidak dipertimbangkannya hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum (4,81); (f) terjadinya disparitas yang cukup tajam antara sanksi pidana putusan dengan requisitor (2,86 porsen).
Dari Segi Penalaran Hukum, Dari 195 putusan yang diteliti secara umum memperlihatkan  tata penalaran hukum yang kurang berkualitas (50,94 porsen dari 840 jawaban bersifat negatif) besarnya kecenderungan bersifat kurang berkualitasnya putusan-putusan hakim ini terletak pada: lemahnya pemaknaan dasar hukum putusan (5,24 porsen), absennya penafsiran baru oleh hakim atas dasar hukum putusan (11,07 porsen), pengkonstruksian hukum yang lemah (7,98 porsen) dan  tidak dipertimbangkannya dasar hukum diluar undang-undang 1,54 % (KY: 2009).
Busuk Luar, Dalam
Fenomena pembebasan koruptor oleh PN Tipikor dibeberapa Daerah, kian hari mengkhawatirkan, kejadian ini menunjukkan indikasi mulai ambruknya lembaga khusus itu, yang memang ditugaskan oleh rakyat untuk menggusur penyakit sosial yang sudah menggurita yang diberi label Extra Ordinary Crime, ini semacam venomena gunung es setelah beberapa waktu lalu dua Pimpinan KPK (Bibt-Candra) berhasil keluar dari lubang jarum atas tudingan menerima suap dari Anggodo Widjoyo, yang ahirnya diselamatkan putusan Deponnering Kejagung. Disusul tudingan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Najarudin dimana seluruh Pimpinan KPK melakukan pertemuan yang tidak wajar dengan pihak-pihak yang dianggap bermasalah, kemudian dalam putusan komite etik yang berjumlah tujuh orang, memutuskan secara bulat bahwa Busyro Muqoddas dan Bibit tidak melanggar kode etik, sementara Candra, Yasin dan Haryono Umar dinyatakan tidak melanggar kode etik,  namun putusan komite etik yang bekerja dua bulan penuh itu diambil dengan perbedaan pendapat (disseting opinion). Sementra Direktur Penindakan dan Sekjen KPK dinyatakan melanggar kode etik. Ini membuktikan Pimpinan KPK bukan lagi manusia-manusia yang kredibel, dan steril dari kongkalikong dengan arus utama kekuatan politik, bukankah ini membuktikan secara moral telah terjadi pembusukan dari dalam lembaga itu.
Memang harus di akui bahwa dinegeri ini tidak ada yang gratis, apa lagi menyangkut jabatan penting seperti Pimpinan KPK, jabatan itu bukan pemberian garatis apalagi hadiah, semua punya imbalannya, lihatlah kinerja Pimpinan KPK sekarang, hampir kasus kasus besar tidak ada yang tuntas, seperti tudingan Najarudin keterlibatan para petinggi partai demokrat yang bermain dalam banyak proyek APBN, kasus Nunung Nurbaeti sebagai pemberi suap pada kasus cek pelawak DPR, kasus Century, kasus Kemenakertran yang melibatkan Menteri. Pengembangan dari kasus Wisma Atlet dan Kemenakertras KPK menyasar ke Badan Anggaran DPR sebagai tempat berkumpulnya para mafia anggaran sebagaimana pernah disuarakan Kader PAN Wa Ode Ida sebelumnya, sehinggara membuat badan itu memboikot pembahasan anggaran Negara.
 Disinilah titik awal dari pembusukan KPK dari laur, kekhawatiran para pimpinan paratai politik terhadap sepakterjang KPK yang di indikasi mengalihkan isu yang melilit partai demokrat sebelumnya, hinggara para Pimpinan KPK di panggil DPR dengan alasan rapat koordinasi, justru kenyataaannya forum itu beruabha menjadi momen penghujatan KPK, hingga kader PKS Fahri Hamzah mewacanakan pembubaran KPK. niat itu ternyata tidak berhenti sampai disitu, keinginan untuk melemahkan KPK itu diwujudkan dengan menyiapkan naskan revisi Undang-undang No. 30 tahun 2003 tentang KPK, dengan niat memangkas beberapa kewenagan KPK, ini juga membuktikan pembusukan KPK datangnya dari luar yakni dari DPR, juga Pemerintah, yang kalau diukur dari kinerjanya sebagai lembaga yang, cengeng, malas, baik mengahdiri sidangan maupun dilihat dari semakin berkuranagnya RUU yang berhasil disahkan target Prolegnas dari tahun ketahun.
Dengan adanya indikasi terjadi pembusukan pemberantasan korupsi, baik dari dalam, seperti bermasalahnya beberapa pimpinan dan pejabat KPK, yang puncaknya adalah pembebasan koruptor oleh PN tipikor Daerah pertama kali sejak berdirinya pengadilan tindak pidana korupsi. Serta indikasi-indikasi nyata pembusukan dari luar oleh Pemerintah dan DPR yang menyiapkan revisi UU 30 tahun 2003 sebagai dasar hukum KPK, kedepan sangat sulit berharap korupsi dapat dihapuskan dinegeri ini, lalu pertanyaannya kita harus mempercayakan pada siapa pemberantasan korupsi di negeri ini. Kalau berharap pada pemerintah jangan bermimpi sepanjang komitmen nyata tidak ada, begitupun para pimpinan KPK harus mulai mensterilkan diri menajadi karter kasus dan jabatan, kemudian untuk para pioner akhir hukum seperti hakim, sepanjang masih memaknai hukum sebagai undang-undang semata, dan tidak merubah cara memaknai hukum dengan memperhatikan tuntutan masyarakat yang menempatkan korupsi sebagai kejahatan extra ordinary crime, maka pemberantasan korupsi tetap stagnan bahkan akan semakin mundur.[]

PANCASILA: DILAWAN DAN DIRINDU


Oleh Ridwan Said*

13 TAHUN Bangsa ini lepas dari genggaman Orde Baru, Pancasila kembali menjadi wacana, MPR di bawah Taufik Kiemas, gencar mewacanakan perlu di jewantahkannya dengan rill Empat Pilar Bangsa yaitu, Pancasila, NKRI, UUD 1945, Kebhinekaan Tunggal Ika. Kerinduan atas Pancasila kembali menggema setelah Bangsa akhir-akhir ini diwarnai dengan gerakan radikalisme atas nama kepercayaan, konflik SARA, terorisme, kebebasan berekspresi yang berlebihan, menguatnya dominasi asing di berbagai sektor, liberalisasi pasar, politik transaksional, oligarki politik, akhir dari semua itu ialah indikasi dari gagalnya sebuah Bangsa.
1 Juni 2011 adalah momentum peringatan kelahiran Pancasila, momen ini menjadi sangat tepat Mereview kembali sejarah berdirinya bangsa dan nilai filosofis Pancasila, lalu memotretnya dalam kehidupan bernegara serta seperti apa pengejewantahan dalam kebijakan Pemerintah masa kini, untuk menatap masa depan.
Bergemurunya pembicaraan akan Pancasila mencapai pusaran intesnya (center of intensity) ketika Pemerintah gagal menjinakkan segala persoalan diatas, lalu banyak orang melihat kembali Pancasila, karena di yakini, menguatnya radikalisme, intoleransi, liberalisasi negara, dan lemahnya Negara disatu sisi di akibatkan hilangnya jati diri bangsa, kalau dulu hanya Negara (TNI/Polri) yang boleh menembak warga, sekarang tidak lagi menjadi monopoli mereka, karena “teroris” juga bisa “melakukan” hal yang sama, dengan jaringan dan peralatan yang sama pula.
Ini adalah indikasi negara ini menju negara gagal sebagaimana yang dikatakan (Robert Rotberg: 2002) Indonesia merupakan satu dari 42 negara didunia yang sedang bergerak dari status lemah menju kepada kegagalan atau keambrukan, sindrom dari suatu negara yanga gagal adalah: keamanan rakyat tidak bisa dijaga, konflik  etnis agama tidak kunjung selesai, korupsi meraja lela, legitimasi Negara terus menipis, kerawanan terhadap tekanan luar negeri, ketakberdayaan Pemerintah dalam meghadapi masalah dalam negeri.
Terlepas Pancasila masih diperdebatkan kesohihannya dalam mengahadapi semua masalah itu, yang jelas Pancasila bukan pepesan kosong yang tidak bermakna, di dalamnya terkandung filosofi yang menjadi spirit pemersatu di tengah keberagaman, penerobos sekat-sekat individualisme. Pertanyaan yang dapat di ajukan disini adalah seberapa jauhkah filosofi bangsa itu determinan terhadap keberadaan suatu bangsa pada masa lampau, kini dan akan datang, pertanyaan ini penting ketika kita melihat anomali dan paradoksnya kehidupan berbagsa dewasa ini.
Weber menyatakan kebangkitan Eropa Barat khususnya kaum Kristiani-Protestan dipengaruhi oleh spirit pembaruan (purifikasi) agama itu yang meyakini, kerja keras, keuletan, kejujuran, kesejahteraan di dunia merupakan jaminan untuk masuk surga. Begitupun bangsa Jepang, China yang sangat percaya denga nilai-nilai luhurnya.
Parsayarat terbentuknya sebuah Negara, baru dikatakan sebagai Negara modern menurut (Addrews: 1968) setidaknya harus memiliki tiga kesepakatan dasar yaitu, pertama kesepakatan tentang tujuan dan cita-cita bersama, kedua kesepakan tentang the rule of law sebagai landasan Pemerintah, ketiga kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi Negara dan prosedur ketatanegaraan. Semua prasayarat itu telah dipenuhi oleh bangsa Indonesia melalui Pancasila, Konstitusi dan sistim politik. Pancasila, secara historis adalah pandangan hidup yang nilai-nilainya sudah ada sebelum bangsa ini lahir secara yuridis, secara kultural dasar-dasar pemikiran Pancasila berakar pada nila kebudayaan nilai religius yang dimiliki oleh bangsa Indonesai (Kaelan: 2011), nilai-nilai ini kemudian di bahas dan dirumuskan oleh para Founding Fathers Bangsa kemudian disepakati dalam konsensus di forum BUPKI dilanjutkan di PKKI sebagai lembaga yang membentuk Negara.
Hasil kesepakan inilah kemudian menghasilkan dasar pendirian bangsa, pada mulanya disepakati piagam jakarta pada 22 juni 1945, yang dalam sila pertama menyebutkan “Kewajiban menjalanakan sariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” kemudian di ganti dengan “Ketuhanan yang masa Esa.”kesepakan pertama itulah yang ditagih Islam politik dan Islam konservatif yang melahirkan juga perlawanan terhadap Negara (Pancasila).
Bangsa Indonesia telah menentukan jalan kehidupan berbangsa dan bernegara pada suatu “khitoh” kenegaraan, Philosophiche Grondslog atau dasar falsafah Negara yaitu Pancasila, sebagai falsafah bangsa secara yuridis ia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, alinea ke IV yang berkedudukan sebagai tertib hukum yang tertinggi, atau dalam teori hukum Von Savigny menyebutnya sebagai “Volkgeyst” yaitu jiwa bangsa, oleh karena itu ia adalah sumber dari segala sumber hukum dan kebijakan Negara dalam wilayah operasionalisasinya.
Pancasila sebagai dasar Negara, philoshopy grondslag merupakan suatu realitas objektif bangsa dan negara Indonesia yang memiliki dasar lebitimasi yuridis, filosofis, politis, historys dan kultural, hanya saja para pemimpin bangsa ini telah menggadaikan Pacasila hanya untuk kepentingan pragmatis, dan mereka menafsirkan pancasila secara serampangan yang sesuai dengan kehendak politiknya, berganti rezim berganti pula pemaknaan terhadap Pancasila, bahkan saling bertentangan (ironiskan). Pancasila sebagai Bacis Philosophy seharusnya ia dapat memberikan warna dasar seperti kejujuran, konsisten, toleransi, kebahagiaan serta kesejahteraan  walau rezim berubah, namun kebebasan setelah reformasi ia telah terjadi kesalah epistomologi penafsirkan secara serampangan (epistomology mystake). kekacauan penafsiran terhadap pancasila ini setidaknya terjadi, menyamakan antara nilai, norma, dan praksis (fakta) dengan  Pancasila, kemudian,konteks politik dimana mengidentikkan Pancasila dengan rezim kekuasaan, yang terlintas kemudian adalah Pancasila sebagai label Orba, fakta sejarah menunjukan ketika Orde Baru berkuasa Pancasila dijadikan sebagai legitimasi politik, memaksakan kehendak, bahkan dijadikan sebagai alat melenyapkan penantang (baca: tangjung priok, lampung berdarah, dll.) sehingga Era Reformasi ketika orang berbicara Pancasila sama halnya mengembalikan kewibawaan Orba, P4 yang menjadi sarana  indoktrinasi Orde Baru dihapuskan, selanjutnya kesesatan epistomologi yang ketiga adalah menempatkan Pancasila sebagai varian yang setingkat dengan agama, bagi politik yang mendasarkan pada agama bahkan menganggap Pancasila sebagai penghalang bahkan mengancam Agama, padahal Pancasila itu sama sekali berbeda dengan agama, dan tidak benar  pula Pancasila itu menampung apa saja, Pancasila itu merupakan filosofis bangsa Indonesia, dan ketika berbicara filososfi bangsa maka yang terlintas kemudian adalah, kehidupan yang dilandasi oleh ketuhanan, bukan ateisme seperti komunisme, juga tidak memisahkan kehidupan bangsa dan agama seperti liberalisme, dalam memutuskan sesuatu Pancasila menghendaki dilakukan dengan musyawarah dan mufakat, bukan one man one vote, disinilah harus dimaknai bahwa sesungguhnya “Negara” dalama skala makro sebenarnya yang melakukan perlawanan/pembangkangan terhadap Pancasila, bukan di arahkan sepenuhnya pada kaum muslimin “konservatif”.
Terputusnya mata rantai filosofi pembentukan bangsa dengan hilangnya wacana Negara kekeluargaan pasca amandemen ke 4 yang merupakan kotektualisasi paham kolektivisme yakni mazhab yang bertentangan dengan indivudualisme. Demokrasi konsensus yang berdasarkan pada asas permusyawaratan perwakilan yang di yakini sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural, majemuk,  kemudian di ubah dengan sistim demokrasi mayoritas yang liberal, pemerintah presidensial di tetapkan sebagai pengganti sistim pemerintahan semi-presidensial, Studi F.N Riggs  di 76 negara di dunia ketiga, dari 33 negara yang menggunakan sistim presidensial tidak ada satupun dapat bertahan, atau kesimpulan Scoot Mainwaring yang mengamati sistem presidensil di Amerika Latin yang menyebutkan sistim presidensial dengan  multi partai di 31 Negara yang dipandang paling sukses dalam pelaksanaan demokrasi, ternyata tidak dapat menciptakan demokrasi yang stabil.
Dari segi ekonomi, Amandemen UUD 1945 juga khususnya pasal 33 telah menggoyahkan sendi-sendi sistem ekonomi yang berkeadilan sosial yang dicita-citakan founding father dan membuka pintu bagi sitim ekonomi liberal-kapitalistik yang memang jauh menyimpang dari ide dasar pendirian bangsa ini. Gelombang globalisasi yang terwujud dalam kesepakatan G20, AFTA, dll, memaksa UKM gulung tikar karena kalah bersaing, Untuk keluar dari krisis itu maka agar pemerintah tidak disebut sebagai pelawan/penantang Pancasila dalam skala makro, revitalisasi dan  reaktualisasi nilai Pancasila menjadi mutlak dan dimulai dari komitmen Pemerintah untuk menginternalisasikan nilai kejujuran tanpa kebohongan, keuletan tanpa sandiwara, keperpihakan yang tidak politis, kekeluargaan tanpa individualis, kalau tidak riak-riak perlawanan dari Islam konsevatif akan terus berlanjut, dan Pancasila hanya akan menjadi kata-kata  yang sekedar dirindukan.[]

MENANTI INSAFNYA NEGARA


Oleh: Ridwan Said.[1]

Negara ini sudah terlalu lama absen dalam mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa (funding father) 66 tahun lalu, berbagai program dan klaim pemerintah untuk menigkatkan ekonomi, pendidikakn, kesehatan dan kesejahteraan hanyalah cerita kosong diatas kertas dan angka-angka, masih sangat mudah ditemukan bukti nyata manusia Indonesia yang bercokol dibawah garis kemiskinan, penggangguran yang semakin meningkat, anak-anak yang selarusnya bertugas untuk belajar dan menikmati masa kecil dan remajanya terpaksan bekerja ber jam-jam demi mempertahankan hidup, pekerja anak Indonesia Tahun 2009 hasil survei ILO bekerja sama dengan BPS mengungkap, sedikitnya 4 juta dari 58,8 juta anak di Indonesia berusia 5-17 tahun terpaksa bekerja, sebanyk 1,7 juta bekerja 12 jam hingga 21 jam per minggu.  Ini ironis dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menjacapai 6,1 prsen 2010, dan diprediksi 6,4 porsen tahun 2011.[2] Dari jumlah buta aksara di dunia saat ini 70 % (510 juta orang) ada di Negara E9 (Banglades, Brazil, China, India, Indonesia, Mesir, Meksiko, Nigeria, pakistan).[3]
Prof. Bambang Setiaji (2011) menggambar, kondisi tingkat pendidikan Indonesia yang berpendidikan sampai lulus SD sebesar 3,3, juta, berpendidikanSMP 2,6j uta, ber­ pendidikan SMA 3,7 juta, dan ber­pendidikan perguruan tinggi berbagai level hampir 1 juta. Kondisi ketidakadilan dan carut marut ini, tidak simetris dengan kenyataaan pertumbuhan ekonomi yang kategori tinggi, dan meningktnya orang kelas menengah baru Indonesia dan Asia yang mencapai 50 juta jiwa, atau cadangan devisa pada pekan ketiga juni 2011 yang terus mengalami kenaikan, mencapai 119 milyar dolar AS, dibanding mei 2011 yang hanya 118 Milyar Doalr AS. hal ini berdasarkan catatan Bank Indonesia.[4]
Pada saat yang sama program penurunan kemiskinan berjalan ditempat bahkan mudnur, Tingginya angka pertumbuhan saat ini tidak mampu mendorong percepatan penurunan angka kemiskinan, BPS mencatata jumlah masyarakat miskin pada maret 2011 mencapai 30,2 juta jiwa, atau hanya turun satu juta jiwa, di banding pada periode maret 2010. Pada hal pada periode sebelumnya  (maret 2009-maret 2010) penurunan kemiskinan mencapai 1,51 juta orang. Penyebab dari lambannya penurunan orang miskin ini adalah naiknya garis kemiskinan, selama maret 2010-maret 2011, garis kemiskinan meningkat sebesar 10,39 porsen, dari Rp. 211.726 perkapita perbulan menjadi Rp. 233.740 perkapita perbulan, artinya mereka-mereka yang mengeluarkan uang dibawah Rp. 7.800  perhari dapat dianggap miskin. Dari pendapatan meraka ini 70 tidak cukup untuk kebutuhan makan setiap hari, sementara itu garis kemiskianan makanan menyumbang 73,52 porsen terhadapa angka garis kemiskinan. Faktor lain lambannya turun kemiskinan karena harga bahan pokok yang mahal.
Berdasarkan komposisi wilayah, jumlah penduduk miskin di daerah pada maeret 2011 turun 9,23 porsen, dari  19,93 porsen juta jiwa menjadi 18,97 juta orang. Sementara itu diwilayah perkotaan jumlah penduduk miskin berkurang dari 11,10 juta orang menjadi 11,05 juta orang.[5]
Pemerintah mengklaim 30,2 juta orang miskinm, Ironisnya yang menerima BLT 70 juta. Sementara kalau mengacu pada versi bank dunia  US $2 yang di konversi berdasar Exchange Rate, menjadi Rp. 20.000,00 per hari atau Rp. 600.000,00 perkapita perbulan, dengan asumsi Rp. 8.600 perdolar atau Rp. 17.000 perhari nyaris miskin, dengan begitu ada sekitar 116 juta orang yang miskin di Indonesia, atau satu diantara dua orang Indonesia adalah kategori miskin, sementara versi kedua kemiskian dari bank dunia adalah menggunakan pengukuran versi PPP (Purchasing Power Parity) dengan pendapatan Rp. 236.040,00 perkapita perbulan. Vietnam saja sebagai negara berkembang yang baru bangkit dari kolonialisme dan peperangan saja menggunakan standar kemiskian dengan pendapatan perkapita perbulan 450.000 perbulan.
Dengan pertumbuahan ekonomi yang tinggi dan masuk kategori sebagai negara kuat baru dalam percaturan ekonomi global seharusnya pemerintah masih bisa berbuat banyak untuk mengurangi pengangguran, kemiskinan dengan kondisi APBN mencapai 1.300 Triliun, Kapan uangan yang banyak itu digunakan untuk kebutuha rakyat. Padahal dalam pembukaan UUD 1945 mengamanatkan negara bertanggung jawab keselamatan, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyatnya, seperti pendidikan, kesehatan, jaminan hari tua, dan jamina sosial lainnya, malah amanat konstitusi dilaksanakn oleh bangsa lain dengan baik, sebagai bahan reflesksi, negara-negara Eropa dan Amerika yang sekuler yang menjauhkan diri dari urusan nilai moral dan agama, sejak tahun 1960-an sudah meluncurkan berbagai progrm jamina sosial bagi seluruh rakyatnya, di Amerika ada Program Family with Dependent Children/AFDC, Mediacia/ perawatan kesehatan, SSI – Suplemental Security Income. Food- Stamp (pemberian kupon maka gratis), disamping itu ada program pokok lain seperti memberikan perumahan bersubsidi, layanan gizi, dan bantuan energi.
Sementara negara kita sampai saat ini hanya mampu menjamin bagi golongan-golongan tertentu, seperti program, PT. Askes, PT. Jamsostek, dengan bentuk jaminan, kematian, kecelakaan kerja, hari tua, dan kesehatan, Jamkesmas dengan Dana investasi Rp. 104 T.[6]  Blt (Program Politis) yang jumlahnya masih sangat buncit, dan menyentuh pekerja formal saja, dibandingkan dengan tinggkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia yang tidak kunjung menurun, malah semakin stagnan.
Munculnya orang kaya baru di indoensia yang menaglami kenaikan memberikan konstirubusi pada penerimaan negaran melalui pajak, tapi kenaikan golongan kelas menengahn ini pada saat yang sama diprediksi  rentan kembali mengalami jatuh pada posisi rentan miskin, ini diakibatkan tidak adanya sisitim jamina keamanan sosil yang dijamin oleh negara.
Pemerintah dan DPR sebenarnya sudah punya konsep bagus untuk memberikan jaminan sosial bagi seluruh rakya Indonesia dengan lahirnya UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, yang akan ditindak lanjuti dengan RUU BPJS yang ditargetkan selesai bulan juni 2011 lalu, pembahasannya sudah berlangsung lebih dari 1 tahun, inisitif ini dari DPR, Pemerintah tidak merespon positif karena menyangkut konsekwensi pendanaan, dan penganturan. BPJS tindak lanjut dari SJNS, konsekwensinya menurut perhitungan menteri keuangan jika pemerintah membayar premi kesehatan untuk 20 juta penduduk biayanya bisa 2-3 porsen dari prosuk domestik bruto.[7] Pemerintah dan DRP telah menyepakati pembentukan BPJS jangka pendek (mengurusi kesehatan, kecelakaan kerja, dan kematian), jangka panjang (pensiun dan hari tua) samapi saat ini detail pengoperasionalan dan pendanaan dan berbagai hal lainnya masih belum ada kesepakatan DPR dan Pemerintah.
Bila saja pemerintah tidak mengundur-undur pengesahan RUU BPJS Suatu,  maka kemenangan besar bagi rakyat, Jaminan sebelumnya dirubah dari kepesertaan hanya terbatas pekerja formal, maka dalam RUU BPJS baik formal Maupun pekerja informal seperti TKI dan seluruh rakyat Indonesai berhak mengikutinya dengan iuran perbulan, dengan jenis programnya menjadi 5 program, yaitu Jaminan Kematian, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kesehatan.
Lagi-lagi penghambat utamanya adalah Problem pengganggaranya, karerna akan ada konsekwensi pengurangan pos anggaran lain, formulari pengalokasian APBN Sekarnag yang masih tidak pro rakyat, yang lebih banyak untuk biaya rutin, dan pasti tidak menyentuh langsung untuk kebutuhan rakyat, dari Rp. 1.300 T APBN kita 2011 ini, sekitar 60 porsen digunakan untuk anggaran operasional yang mencakup gaji pegawai, pejabat negara pejabat pemerintah, alat perkantoran, dan biaya perjalanan. 20 porsennya untuk bayar cicilan utang dan bungannya negara. Sementara sisanya yang sekitar 20 porsen itulah yang praksis untuk program pembanunan. Belum lagi didaerah-daerah yang menggunakan anggaran APBN sekitar diatas 70-80 porsen digunakan untuk dana operasional, banyak daerah yang kolap (kompas, 10/6/11), lagi tingginya permintaan penundaan pensiun para PNS yang takut tidak mampu survive pasca pensiun, Saat ini perbandingan antara pns dan pendududk adalah 1,98 porsen kalau negara lain 2,1 porsen, Alokasi abpn 2011 Rp. 225,5 t di alokasikan untuk gaji pns, Jumlah PNS di Indonesia mei 2011 sebesar 4.708.330. orang atau 2,03 porsen dari jumlah penduduk, beban APBN pertahun mencapai  Rp. 180 T untuk gaji PNS termasuk pensiun.[8]
Pengesahan RUU PBJS sebenarnya mengindikasikan ada keinsafan negara ini dari sisi pengelolaan anggaran, karena dengan adanya jamiana sosial yang menyeluruh bagi semua lapisan masyarakat, negara wajib menaggung bagi mereka yang tidak mampu. Seandainya saja RUU itu jadi disahkan itu artinya perjungan kaum buruh dan para intelekrtual berpuluhan tahun akan menunai sejarah besar, karena berhasil memaksa dan membujuk sekaligus menginsafkan pimpinan bangsa ini kelur dari dosa besar, atas kealpaan, kekhilafan dan keserakahannya, menyimpang dari tujuan pendirian bangsa.
Malaysia memimiliki tabungan negara sekitar Rp. 1.300 triliyun hasil tabungan jaminan sosial warganya, sementara Indonesia hanya memilki Rp. 100 T yang di himpun PT. Jamsostek, sebenarnya pelaksanaan sisitim jaminan sosial tidak sulit, karena sudah ada PT. jamsosstek, PT. Askes, PT. Taspen, dan PT. Asabri, hanya saja tiak ada kemauan poltik pemerintah.
Ada banyak manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarkat, Alasan esensial dari RUU PBJS mengatur program jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, jamiana hari tua, termasuk pensiun dan jaminan keamatian yang lebih adil. Ada empat esesnsinya UU SJSN pertama. merupakan mmebuat platforrm yang sama antara PNS, Pegawai Swasta, dan pekerja informal, artinya menghilangkan klasifikasi diskriminatif selama ini. kedua, Mengubah status hukum badan penyelenggara, yang ada sekarang adalah Jamsotek, Taspen, Askes, dan Asabri menjadi BPJS yang tidak bertujuan mencari laba untuk kas negara atau dana suprlus atau laba selama ini harus dikembalikan kepada peserta bukan pada negara yng dimaknai secara keliru dalam UU No. 2 tahun 1992 tentang asuransi, namun bukan berarti negar akan rugi, karena pemasukannya akan di ditarik dari iuran peserta, baru negara membayar kalau peserta tidak mampu. Ketiga, SJSN adalah titipan peserta yang harus dikembalikan pada peserta pula. Keempat, Memastika agar pihak kontributor atau pengisur atau tripartit, agar steril dari politik, seperti BLT. Kelima, memastikan seluruh rakyat Indonesia berhak ikut dan dimanapun mereka berada walaupun berpindah tempat domisili, entah di daerah lain dalam wilayah indonesia atau di luar negeri.[9]
Rencana ini sebenarnya berkorelasi dnegan semangat duni internasional yang terus mengusung perlindungan dan jaminan bagi kaum kelas bawah, seperti contoh baru-baru ini PRT yang disisihkan dari perlindungan negara selama ini berhak mendapat Jamsostek, berlibur, hari cuti, menentukan tempat tinggal, hal ini termuat dalam kesepakatan konverensi perburuhan internsioanl (international labor converence) ILO, ynag diadakan Dijewa-Swiss yang mengesahkan Convesi ILO 189, yang telah diperjuangkan selama 70 tahun sejak 1956.
Nampaknya tujuan dan cita-cita luhut itu semakin hari, kian hilang dari substansinya, karena banyak upaya-upaya pemerintah untuk menggagalkan cita-cita itu karena takut akan konsekwensi pengganggarannya, Menteri BUMN misalnya mengeluarkan surat edaran S-374/MBU/2011 tanggal 24 juni 2011, berisi penolakan transformasi empat BUMN menjadi BPJS, empat BUMN itu adalah Jamsostek, Asabri, Taspen dan Askes.[10]belum lagi perlawanan dari perkumpulan pengusaha-pengusaha yang mendesak pemerintah agara hanya menfokuskan pada penguatan program kesehatan saja, sementara program-program jaminan sosial lainnya yang kruasial harus ditiadakan. Dengan kondisi seperti ini masih jauh kita harapkan pemerintah dibawah kendali Rezim Yudhoyono diharapkan insaf dan bertobat, RUU BPJS yang semula selasai juni lalu malah ditunda lagi menjadi oktober.[]

KORUPSI DAN KEKERASAN JEBAKAN YANG MENGUAT

Oleh: Ridwan HM Said MENDEKAT I akhir tahun 2011 lalu dan awal dari tahun 2012 ini Indonesia diwarnai oleh dua masalah besar yang ...